Kumpulan Makalah

Ilmu Itu Murah Maka Amalkanlah

Senin, 28 Maret 2011

Ulumul Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN
               Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan  kesatuan  utuh. Tak  ada pertentangan  satu  dengan  lainnya. Masing-masing saling menjelaskan  al-Qur'an  yufassir-u  ba'dhuhu  ba'dha. Dari  segi  kejelasan,  ada  empat  tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua,  cukup  jelas bagi  yang  bisa  berbahasa  Arab.  Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya  Allah  yang  mengetahui maksudnya.
               Dalam  al-Qur'an  dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab yang sudah mempunyai  kekuatan  hukum tetap.  Ketentuan-ketentuan  induk  itulah  yang  senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan  pedoman  pengembangan berbagai    pengertian,    sejalan    dengan   sistematisasi interpretasi dalam ilmu  hukum  -hubungan  antara  ketentuan undang-undang     yang     hendak     ditafsirkan     dengan ketentuan-ketentuan  lainnya  dari  undang-undang   tersebut maupun   undang-undang  lainnya  yang  sejenis,  yang  harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu  ayat  dengan  ayat  lainnya.  Hal  ini  untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa,  sistem  dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah  pentingnya.  Itulah unsur   sejarah  yang  melatarbelakangi  terbentuknya  suatu undang-undang, yang biasa dikenal "interpretasi historis."
                Dalam ilmu tafsir ada  yang  disebut  asbab  al-nuzul,  yang mempunyai  unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir  memberi  tempat   yang   cukup   tinggi   terhadap pengertian   ayat  al-Qur'an.  Dalam  konteks  sejarah  yang menyangkut interpretasi  itulah  kita  membicarakan  masalah nasikh-mansukh.  Dalam hal ini masalah yang terpenting untuk kita soroti  adalah   masalah   asas, pengertian/batasan, jenis-jenis, kedudukan, hirarki penggunaan, kawasan penggunaan dan hikmah kegunaannya.
                                                                             BAB II
PEMBAHASAN
A.    Asas
               Seandainya (Al-Qur’an ini) datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan di dalam(kandungan)-nyaikhtilaf(kontradiksi) yang banyak (QS. 4:82). Andaikan al-Qur'an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti saling  bertentangan. Ungkapan ini sangat penting dalam rangka   memahami   dan    menafsirkan    ayat-ayat    serta ketentuan ketentuan  yang  ada  dalam  al-Qur'an. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat  lebih  dan  terbagi  dalam  114 kelompok  surat,  mengandung  berbagai jenis pembicaraan dan persoalan.  Didalamnya  terkandung  antara   lain nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur,   perintah   dan   larangan. Masalah-masalah yang disebutkan   terakhir   ini,   tampak  jelas  dengan  adanya ciri-ciri hukum didalamnya. Semua jenis masalah ini  terkait satu dengan lainnya dan saling menjelaskan.
               Dalam  kaitan  itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas prinsip tersebut. Mereka mencatat  adanya  pendapat yang  memandang  adanya  tiap  ayat  atau kelompok ayat yang berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat   dengan   ayat   lainnya   dari  al-Qur'an  tidak  ada kontradiksi (ta'arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode penafsiran     untuk    meluruskan    pengertian    terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan. Adanya   gejala   pertentangan   (ta'arudl)   yang  demikian merupakan  asas  metode  penafsiran  dimana   Nasikh-Mansukh merupakan salah satu bagiannya.
 
B.     Pengertian
               Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata  ini  dipakai  untuk  beberapa  pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu  Hasyim, pengertian  majazinya  ialah pemindahan atau pengalihan. Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian  terminologis.  Perbedaan  terma  yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.
               Ulama  mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'I yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk  ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama  yang  dinyatakan berakhirnya  masa  pemberlakuannya,  sejauh  hukum  tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi  juga  mencakup pengertian  pembatasan  (qaid)  bagi  suatu pengertian bebas (muthlaq).  Juga  dapat  mencakup  pengertian   pengkhususan (makhasshish)  terhadap  suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga  pengertian  pengecualian  (istitsna).  Demikian   pula pengertian syarat dan sifatnya.
               Sebaliknya   ulama  mutaakhkhir  memperciut  batasan-batasan pengertian  tersebut  untuk  mempertajam  perbedaan   antara nasikh  dan  makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh  terbatas  hanya  untuk  ketentuan hukum  yang  datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya   masa   pemberlakuan   ketentuan   hukum   yang terdahulu,   sehingga   ketentuan  yang  diberlakukan  ialah ketentuan  yang   ditetapkan   terakhir   dan   menggantikan ketentuan  yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari  satu  pengertian,dan  di  lain  pihak  -dalam perkembangan selanjutnya- naskhmembatasinya hanya pada satu pengertian.
 
C.     Jenis-Jenis Naskh
               Masalah pertama yang ingin  kami  soroti  dalam  bagian  ini ialah  adanya  naskh  antara  satu  syari'at dengan syari'at lainnya. Ini terjadi sebagaimana  dapat  kita  amati  antara syari'at  Nabi  Isa  as.  dengan syari'at hukum agama Yahudi yang lebih  dahulu  ada.  Dalam  hubungan  ini,  dapat  kita katakan  bilamana  kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at, dengan  sendirinya  kita  mengaku   adanya   naskh,   karena syari'at-syari'at  sebelumnya  tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya pun tidak  akan  kita  berlakukan,  sepanjang
tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw.
               Jadi, adanya nasikh-mansukh  antar  syari'at  itu  merupakan salah  satu  jenis naskh. Hal semacam ini jika ditinjau dari segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya, misalnya pengertian  suatu  pemerintahan/negara  dengan pemerintahan/ negara  lainnya.   Contohnya,   adanya   pemerintahan/Negara kolonial Hindia Belanda dengan pemerintahan/negara  nasional Republik Indonesia. Dalam kaitan ini soal kedaulatan,  hukum dasar  dan  hukum-hukum  yang  langsung  berhubungan  dengan kedaulatan, serta hukum-hukum lainnya semuanya  dicabut  dan tidak   diberlakukan   lagi   sepanjang   tidak   dikukuhkanpemerintah/negara baru itu.
               Jika   kita   sudah   melihat  adanya  nasikh-mansukh  antar syari'at,  apakah  didalam  satu   syari'at   terjadi   juga nasikh-mansukh  antara  hukum  yang  satu  dengan hukum yang lainnya? Jika kita kembali pada syari'at Islam sendiri, kita akan  menemui  beberapa  kasus yang dapat memberikan jawaban atas masalah ini. 
1.      Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat ke arah Bait al-Haram. Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum kiblat. Kasus lain misalnya dalam hal shalat yang semula tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 raka'at. Ini juga berarti telah terjadi nasikh-mansukh dalam hukum shalat.
2.      Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut bidang ibadat. Sedangkan di bidang mu'amalat, dapat pula kita catat beberapa kasus, misalnya hukum keluarga. Sebagai contoh, semula ditetapkan masa tenggang ('iddah) bagi seorang janda, lamanya 1 (satu) tahun. Beberapa waktu kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masa tenggangnya 4 bulan 10 hari. Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hukum  pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.
               Dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik  kesimpulan, memang  terbukti  adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam syari'at Islam. Beberapa ketentuan  hukum  yang  sudah berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan hukum lain.  Hal  seperti  ini, jika  dilihat  dari  sudut  pendekatan ilmu hukum adalah hal yang lumrah dan banyak terjadi.  Bahwa  suatu  undang-undang atau  peraturan  hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak berlaku   lagi,   kemudian   diganti    dengan    menetapkan undang-undang atau peraturan lain.
               Persoalan  lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah soal nasikh-mansukh antara al-Qur'an dengan  Sunnah.  Adanya nasikh-mansukh  antara satu ayat yang memuat ketentuan hukum dalam al-Qur'an dengan lain ayat yang juga memuat  ketentuan hukum  dalam  soal  yang  sama,  adalah  satu hal yang tidak diperselisihkan lagi. Demikian  pula  adanya  nasikh-mansukh antara  satu  hadits  yang memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu  hal  yang  tidak  diperselisihkan lagi.  Juga,  adanya  nasikh-mansukh antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam Sunnah dengan lain hadits  yang juga  memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi. Masalah yang menimbulkan  perbedaan  pendapat  diantara  para ulama ialah adanya  nasikh-mansukh  silang   antara   al-Qur'an   dengan Hadits/Sunnah.  Jika  disimak  alasan  masing-masing  pihak, mungkin  dapat  ditarik  satu  garis  bahwa   faktor   utama terjadinya  perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing tentang  kedudukan  hirarki  al-Qur'an  dan   Sunnah   dalam syari'at itu sendiri. Dalam  kaitan  hirarki  al-Qur'an  dan  Sunnah,  ada semacam kesepakatan bahwa dalam nasikh-mansukh kedua unsurnya  harus sama tingkatnya dan sama nilai dan sifatnya. Lembaga tawatur dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan pikiran seperti ini terdapat juga di kalangan ahli hukum bahwa suatu peraturan hukum tidak dapat dicabut dengan  peraturan  hukum lainnya   yang  lebih  rendah  tingkatannya.  Demikian  pula lembaga yang mengeluarkan  peraturan  hukum  menjadi  factor pertimbangan.  Berdasarkan  pemikiran ini, ada satu hal yang perlu kita catat bahwa setelah  Rasulullah  saw  wafat  maka tidak  ada  lagi  nasikh-mansukh  yang  mungkin terjadi pada syari'at.
 Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut  segi formalnya.  Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada yang bersifat  eksklusif  (sharih)  dan  inklusif  (dlimni). Untuk  yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya hukum  kiblat.  Ketentuan  yang  nasikh (pengganti)  ditetapkan  secara  jelas. Ini contoh dari al-Qur'an. Sedangkan contoh lain dari Sunnah misalnya  hukum ziarah   kubur.   Didalam  hadits  disebutkan,  "Pernah  aku melarang   kalian   melakukan   ziarah    kubur.    Sekarang lakukanlah!".  Berbeda  dengan  hal  tersebut diatas, nasikh  yang  bersifat   dlimni   tidak   memuat   penegasan didalamnya  bahwa  ketentuan  yang  mendahuluinya  tercabut, tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang mendahuluinya.  Jenis  seperti  inilah yang banyak ditemukan dalam hukum syari'at.
 
D.    Kedudukan Naskh
               Masalah naskh bukanlah  sesuatu  yang  berdiri  sendiri.  Ia merupakan  bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu  Ushul  Fiqh.  Karena  itu  masalah   naskh   merupakan techniseterm  dengan  batasan  pengertian  yang  baku. Dalam kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan  pendapat tentang  kedudukan naskh: apakah ia berfungsi mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan). Ungkapan Imam Subki ini dapat dikaitkan  dengan  hal-hal yang menyangkut jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika ditinjau  dari  segi  formalnya maka  fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau dari  segi  materinya,  maka  fungsi   penjelasannya   lebih menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya suatu  fungsi  pokok  bahwa  naskh  merupakan   salah   satu interpretasi hukum.
 
E.     Kawasan Penggunaan Naskh
               Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti,  sejauh  mana jangkauan  naskh  itu?  Apakah semua ketentuan hukum didalam syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal  ini Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban  tugas  keagamaan)  sebagai  suatu  kebulatan   tidak mungkin  terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil  Allah  berdusta. Sejalan  dengan  ini  Imam Thabari  mempertegas,  nasikh-mansukh  yang  terjadi  antara ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram,  atau sebaliknya,   itu   semua   hanya  menyangkut  perintah  dan larangan,   sedangkan    dalam    berita    tidak    terjadi nasikh-mansukh.
               Ungkapan  ini  cukup penting diperhatikan, karena soal naskh adalah  semata-mata  soal  hukum,  yang   hanya   menyangkut perintah  dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum. Hal seperti yang diuraikan di atas,  di  bidang  ilmu  Hukum dapat  kita  lihat  gambarnya  pada  Hukum  Dasar,  misalnya Undang-undang  Dasar  Negara  yang  tidak   dapat   dijangkaupencabutan.  Adanya  pencabutan  terhadap  sesuatu peraturan hukum dan penetapan  peraturan  lain  untuk  menggantikannya hanya  berlaku  pada  undang-undang  organik atau peraturan, kedudukan dan kawasan naskh. Dengan demikian,  dengan  mudah kita dapat mengenal beberapa persyaratan, yaitu:
1.      Adanya ketentuan hukum yang dicabut (mansukh) dalam formulasinya tidak mengandung keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau selama-lamanya.
2.      Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai  kesepakatan universal tentang kebaikan atau keburukannya, seperti kejujuran dan keadilan untuk pihak yang baik serta kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.
3.      Ketentuan hukum yang mencabut (nasikh) ditetapkan kemudian, karena pada hakikatnya nasikh adalah untuk mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang sudah ada sebelumnya.
4.      Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.
 
F.      Hikmah Adanya Naskh
               Adanya nasikh-mansukh  tidak  dapat  dipisahkan  dari  sifat turunnya   al-Qur'an  itu  sendiri  dan  tujuan  yang  ingin dicapainya. Turunnya  Kitab  Suci  al-Qur'an  tidak  terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu,  lalu  Qur'an sendiri  menjawab,  pentahapan  itu  untuk  pemantapan, khususnya di bidang hukum. Dalam  hal  ini  Syekh  al-Qasimi berkata,  sesungguhnya  al-Khalik  Yang  Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama  23  tahun  dalam  proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu  mulanya bersifat  kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat  universal.  Demikianlah Sunnah   al-Khaliq   diberlakukan  terhadap  perorangan  dan bangsa-bangsa   dengan   sama.   Jika   engkau   melayangkan pandanganmu  ke  alam  yang  hidup  ini,  engkau  pasti akan mengetahui bahwa naskh  (penghapusan)  adalah  undang-undang alami   yang   lazim,  baik  dalam  bidang  material  maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari  unsur-unsur sperma  dan  telur  kemudian  menjadi  janin,  lalu  berubah menjadi  anak,  kemudian  tumbuh  menjadi  remaja,   dewasa, kemudian  orang  tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam  ini  selalu berjalan  proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari  terjadinya, mengapa  kita  mempersoalkan  adanya  penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke  yang  lebih tinggi?  Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung  membenahi  bangsa  Arab  yang masih  dalam  proses  permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah  mencapai  kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka  bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan  hukum,  memberikan  beban  kepada suatu  bangsa  yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan  melainkan  oleh  suatu bangsa  yang  telah  menaiki  jenjang  kedewasaannya?  Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita  yang  menurut sunnah  Allah  ditentukan  hukum-hukumnya  sendiri, kemudian di-nasakh-kan  karena  dipandang  perlu  atau  disempurnakan hal-hal  yang  dipandang  tidak  mampu  dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah  syari'at-syari'at  agama lain  yang  diubah  sendiri  oleh  para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali? 
               Syari'at Allah adalah perwujudan  dari  rahmat-Nya.  Dia-lah yang  Maha  Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup  tertib  dan adil  untuk  mencapai  kehidupan  yang  aman,  sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat  lebih  dan  terbagi  dalam  114 kelompok  surat,  mengandung  berbagai jenis pembicaraan dan persoalan.  Didalamnya  terkandung  antara   lain nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur,   perintah   dan   larangan. Adanya nasikh-mansukh  tidak  dapat  dipisahkan  dari  sifat turunnya   al-Qur'an  itu  sendiri  dan  tujuan  yang  ingin dicapainya.
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata  ini  dipakai  untuk beberapa  pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu  Hasyim, pengertian  majazinya  ialah pemindahan atau pengalihan. Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian  terminologis.  Perbedaan  terma  yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.
Pembagian Nasikh Mansukh
Pembagian Nasakh dapat diklarifikasikan kepada empat bagian :
1.      Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2.      Naskh Al-Qur’an dengan As-Sunnah.
3.      Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an.
4.      Naskh as-Sunnah dengan As-Sunnah.
Daftar Pustaka
1.    Ibn Katsir, Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim
2.    Imam Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh
3.    M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an
4.    DR. Yusuf Hardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur’an


Kamis, 10 Maret 2011

Ilmu Tasawwuf

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Wacana mahabbatullah dalam dunia tasawuf dipopularkan oleh seorang wanita suci yang menjadi kekasih Allah (Waliyyullah), Rabiah al-Adawiyyah. Tampilnya Rabiah dalam sejarah tasawuf Islam, memberikan cinta tersendiri dalam menyetarakan gender pada dataran spiritual Islam.Bahkan dengan kemampuannya dalam menempuh perjuangan ‘melawan diri sendiri’ dan seterusnya tenggelam dalam ‘telaga cinta Ilahi’, dinilai oleh kalangan sufi telah melampau seratus darjat orang-orang soleh dari kalangan laki-laki.
Rabiah al-Adawiyyah termasyhur kerana pengalaman spiritualnya, yaitu mahabah atau penyerahan diri total kepada Allah s.w.t. Pengalaman ini diperolehnya bukan melalui guru, melainkan melalui pengalamannya sendiri. Jika sebelumnya Hasan al-Basri, ahli hadis dan fikh, telah merintis kehidupan zuhud berdasarkan rasa takut dan harapan, makan Rabiah melengkapinya dengan cinta kepada Tuhan. Cintanya kepada Allah s.w.t telah memenuhi seluruh jiwa raganya; tidak menyisakan tempat di hatinya untuk mencintai sesuatu selain Allah s.w.t. Baginya, dorongan mahabah berasal dari dirinya sendiri dan juga kerana hak Allah s.w.t untuk dipuja dan dicintai. Puncak pertemuan mahabah antara hamba dan cinta kasih Allah s.w.t yang menjadi akhir keinginan Rabiah.
Rabiah yang berparas cantik, memiliki suara merdu, dan pandai menari ini ditugaskan oleh tuannya sebagai penghibur. Setelah belasan tahun menjadi penghibur, suatu hari ketika bernyanyi, Rabiah merasakan kedekatannya dengan Allah s.w.t yang seolah-olah memanggilnya. Sejak itu, ia menolak semua perintah tuannya untuk bernyanyi dan menari sehingga tuannya marah, bahkan menyeksanya. Namun, Rabiah tetap berdoa kepada Allah sw.t. Rabiah pun dijual kepada seorang sufi yang kemudian mengajaknya menikah. Rabiah menolaknya kerana kecintaannya yang tinggi pada Allah s.w.t. Setelah dibebaskan, Rabiah memutuskan untuk hidup menyendiri.
Cinta Rabiah kepada Allah s.w.t merupakan cinta suci, murni, dan sempurna seperti disenandungkan kepada syair ini: “Aku mencintaimu dengan dua cinta; cinta kerana diriku, dan cinta kerana diri-Mu. Cinta kerana diriku adalah keadaanku yang sentiasa mengingat-Mu yang mengungkapkan tabir, sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini, mahupun untuk itu, pujianku bukanlah bagiku; bagi-Mulah pujian untuk semuanya. Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi, berilah keampunan pembuat dosa yang datang ke hadrat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku, hatiku enggan mencintai selain Engkau.Rabiah mencurahkan seluruh hidupnya untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Kerana itu, ia memilih hidup zuhud agar bebas daripada segala rintangan dalam perjalanan menuju Tuhan. Dalam pandangannya, kenikmatan duniawi adalah hambatan menuju Tuhan. Dia pernah memanjatkan doa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu daripada segala perkara yang menyibukkanku sehingga aku tidak sempat menyembah-Mu dan daripada segala rintangan yang merenggangkan hubunganku dengan-Mu.”Perkahwinan baginya adalah rintangan. Dia menerima banyak lamaran untuk bernikah, tetapi menolak semua lamaran itu. Mengenai cinta kepada Nabi Muhammad s.a.w, dia berkata: “Aku cinta kepada Nabi s.a.w, tetapi cintaku kepada Khalik (Maha Pencipta) memalingkan perhatianku daripada cinta kepada makhluk (segala ciptaan).”Rabiah sang pencinta agung itu, mencintai Tuhan buka kerana naluri kewanitannya. Dia mencintai Tuhan dengan sepenuh jiwanya, ia mencintai zat-Nya, sifat-sifat-Nya. Ia bertafakur, berzikir, juga suntuk memaknai segala sesuatu tentang Kekuasaan dan Kebesaran-Nya, sehingga tidak ada ruang sedikit pun dalam dirinya untuk berfikir selain Dia.Dia merelakan dirinya menjadi ‘gadis abadi’. Dia tidak ingin bernikah bukan lantaran tidak ada yang meminangnya, dia memilih ‘kegadisan abadi’ kerana tidak tertarik dengan kenikmatan hidup duniawi.
Perumusan Masalah 
Dari uraian yang telah dipaparkan secara sepintas kami dari kelompok 4 dapat menguraikan perumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apakah yang dimaksud mahabah?
2.      Dasar-Dasar ajaran mahabbah?
3.      Ada berapakah macam-macam mahabah?
4.      Siapakah tokoh sufi dalam mahabah?
5.      Doktrin-doktrin mahabbah?
6.      Pengaruh doktrin mahabbah?

BAB I
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al mahabbah dapat pula berarti al wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang.
Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Pengertian mahabbah dari segi tasawwuf ini lebih lanjut dikemukakan al Qusyairi sebagai berikut: “almahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah swt”.
Antara mahabbah dan ma’rifah ada persamaan dan perbedaan. Persamaannya Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.
Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swtmenggambarkan keadaan dekatnya seorang sufi dengan Tuhan. Perbedaannya mahabbah menggambarkan hubungan dengan bentuk cinta, sedangkan ma’rifah menggambarkan hubungan dalam bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.

B.     Dasar-Dasar Ajaran Mahabbah
1.      Dasar Syara’
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW.  Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.
            a.       Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
1)      QS. Al-Baqarah ayat 165
       Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).

2)      QS. Al-Maidah ayat 54
           
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.

3)      QS. Ali Imran ayat 31
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


b.      Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّاسِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَايَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka. 
 ….. وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُسَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُالَّتِي يَمْشِي بِهَا 
….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. …
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين
Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.
1.      Dasar Filosofis
Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta(mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut: 
a.       Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia. 
b.      Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.

Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.  
c.       Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
 Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya cinta. Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
a.       Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal  Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.
b.      Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
c.       Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai kebaikan per se juga merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan korupsi sang pejabat.
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah. Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini. Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak langsung dirasakan seorang Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.

d.      Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih kekal.
Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.
e.       Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.

C. Macam-Macam Mahabah

Dalam Qur’an cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya:
1. Mahabbah mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan“nggemesi”. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selaluberdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa berfikir lain.
2. Mahabbah rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut,siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibandingterhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sangkekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya.
Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian
darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari
itu maka dalam al Qur’an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham ,yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari katarahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim.Selanjutnya diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu ber silaturrahim, atau silaturrahmi artinya menyambung tali kasih sayang. Suami isteri yang diikat oleh cinta mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia akhirat.
3. Mahabbah mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur’an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan kepada yang lama.
4. Mahabbah syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al Qur’an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.
5. Mahabbah ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkannorma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat, membelanya meskipun salah. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini kasus hukuman bagi pezina (Q/24:2).
6. Mahabbah shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilakupenyimpang tanpa sanggup mengelak. Al Qur’an menyebut term ni ketikamengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja),sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatanbodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min aljahilin (Q/12:33)
7. Mahabbah syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur’an tetapi darihadis yang menafsirkan al Qur’an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akantiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma’tsurdari hadis riwayat Ahmad; wa as’aluka ladzzata an nadzori ila wajhikawa as syauqa ila liqa’ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya
memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu.Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin waNuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepadasang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yangapinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa iltihab naruha fi qalb al muhibbi
8. Mahabbah kulfah. yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positip meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur’an ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, layukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286)

D. Rabi’ah Al-Adawiyah: Perintis Tasawuf Cinta
Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan:“Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”
Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.

E.    Doktrin-Doktrin Mahabbah
1.      Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.
2.      Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah
Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.
Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah.
3.      Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilahmaqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan)Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadahriyadhah, dan keterputusan (inqitha’)kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid,hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbahselain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arahmahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta sebagaimaqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakanmaqam ilahi.
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbahmerupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah)merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.
4.      Tingkatan Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan(zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.
F. Pengaruh Doktrin Mahabbah
Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”.
Pada perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah selalu menjadi tema yang mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun banyak yang membahas lebih mendalam tentang tema ini dalam karya-karya mereka, seperti al-Hujwairi dengan Kasyf al-Mahjub, ath-Thusi dengan al-Luma’, al-Qusyairi dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali dengan Ihya Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, dan lain-lain.
Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer masih banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang membentuk kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.

                                                                BAB III
                                                                      PENUTUP
A. Kesimpulan 

Mahabah artinya cinta, hal ini mengandung maksud cinta kepada tuhan lebih luas lagi
Qur’an cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya:
1. Mahabbah mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan“nggemesi”. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, 
2. Mahabbah rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut,siap berkorban, dan siap melindungi. 
3. Mahabbah mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. 
4. Mahabbah syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. 
5. Mahabbah ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkannorma-norma kebenaran, 
6. Mahabbah shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang tanpa sanggup mengelak. 
7. Mahabbah syauq (rindu). Tema ini bukan dari al Qur’an tetapi darihadis yang menafsirkan al Qur’an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akantiba. 
8. Mahabbah kulfah. yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positip meski sulit

Aliran sufi mahabbah dipelopori dan dikembangkan oleh seorang seorang sufi wanita bernama rabiah al-adawiyah ia lahir di basrah pada tahun 714 M . rabiah meninggal pada tahun 801 M di barsrah,


Daftar pustaka
Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969).
Barnawi umari “ material akhlak” 1967; ramadhani semarangØ 
 Hamka, Prof, Dr, tasawuf perkembangan dan pemurniannya” 1980. nurul islam. Jakart
 Mustofa, Drs”akhlak tasawuf” 1997; pustaka setia . bandungØ