Kumpulan Makalah

Ilmu Itu Murah Maka Amalkanlah

Senin, 08 Agustus 2011

Eksistensi Sains dalam Pandangan Agama


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Kata Pengantar
Sejak akhir abad ke-19 hingga kini, salah satu persoalan besar yang diangkat para pemikir Muslim adalah sikap yang mesti diambil terhadap ilmu pengetahuan modern di dunia Barat. Perdebatan mereka dilatarbelakangi kesadaran bahwa dunia Islam pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan, tetapi pada Zaman Baru telah jauh tertinggal oleh dunia Barat. Perbincangan tentang Islam dan ilmu pengetahuan sejak akhir abad ke-19 itu memiliki dua aspek penting.
Pertama, periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam pemikiran Islam. Penyebab utamanya adalah kontak yang semakin intensif – pada beberapa kasus bahkan berupa benturan fisik – antara dunia Islam dan peradaban Barat. Gagasan seperti “kemodernan” serta “modernisme”, “westernisasi” atau pembaratan, dan “sekularisme” menjadi objek utama perhatian para pemikir Muslim. Demikian luasnya penyebaran gagasan baru itu sehingga tak berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran baru Islam lahir dari keinginan menanggapinya.
Kedua, sejak awal perkembangan Islam, ilmu -berdasarkan pengamatan, wahyu, atau renungan para sufi- sebagai induk ilmu pengetahuan selalu mendapatkan perhatian para pemikir Muslim. Bertemu dengan kecenderungan di atas, perhatian tersebut mengambil bentuk tanggapan terhadap perkembangan pesat ilmu pengetahuan modern di dunia Barat, yang dianggap tidak berinduk pada suatu ilmu yang benar. Tanggapan itu, karena lebih merupakan reaksi daripada usaha atas prakarsa sendiri, pada diri beberapa pemikir dan aliran pemikiran merupakan penyempitan wilayah wacana tentang ilmu dan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan periode sebelumnya, khususnya masa awal perkembangan intelektual Islam.
Pengaruh agama dan sains tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan kehidupan manusia, agama yang bersifat teosentris-doktriner dan dogmatik tidak jarang menjadikan pemeluknya sebagai tumbal demi eksistensi dan kiprahnya di altar dunia. Pengorbanan yang semacam itu merupakan pembelaan terhadap keyakinan bahwa agama merupakan kebenaran absolut yang akan memberikan puncak kebahagian (happy ending) pada pemeluknya. Sedangkan sains berikut produk dan turunannya berwajah ganda, artinya sains bisa memberikan sumbangan yang positif-konstruktif bagi kehidupan manusia, namun tidak jarang juga memberikan trend negatif dalam perjalannanya.
Sejak abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan itu melahirkan pemikiran tentang antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat beragam. Tanggapan tersebut dapat berarti usaha apologetis untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat sebenarnya bersifat “islami”. Bisa pula merupakan usaha mengakomodasi sebagian nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern karena dianggap islami, sambil menolak sebagian lain. Tidak pula bisa dilupakan usaha “islamisasi” berbagai cabang ilmu pengetahuan dan penciptaan suatu “filsafat ilmu pengetahuan Islam”. Akhirnya ada upaya rekonstruksi pandangan dunia serta epistemologi Islam.
Kesemua tanggapan itu dapat dikelompokkan ke dalam dua wacana besar. Pembagian atas dua wacana ini sebagian bersifat kronologis dan sebagian lagi tematis. Wacana pertama, yang berkembang sejak abad ke-19, terfokus pada penegasan bahwa tidak terdapat pertentangan antara ilmu pengetahuan dan Islam. Penegasan tersebut didasarkan pada pandangan instrumentalis tentang ilmu pengetahuan, artinya pandangan bahwa ilmu pengetahuan sekedar alat dan tidak terikat pada nilai atau agama tertentu. Sementara hingga kini wacana tersebut masih kerap muncul, ada pula wacana baru yang mendominasi perbincangan tentang ilmu pengetahuan dan Islam sejak setidaknya akhir tahun 1960-an, yaitu tentang “islamisasi” ilmu pengetahuan.
B.     Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana Eksistensi Sains dalam Pandangan Agama?    

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pandangan Agama terhadap Ilmu Pengetahuan
Adalah perlu diketahui bahwa ajaran islam ada masalah-masalah yang termasuk ta’abbudi(semata-mata ibadah) dan ada masalah ta’qulli(dapat diakali) walaupun tidak semua demikian. Sebagai contoh berwudlu, mengapa dalam berwudlu itu yang harus dibasuh hanya bagian-bagian tertentu saja, ini namanya ta’abbudi. Akan tetapi berwudlu itu sendiri tidak bertentangan dengan akal bahkan dapat dimengerti dan dicari hikmahnya, ini ta’qulli. Maka antara wahyu Allah dan ilmu dapat bertemu dan ilmu dapat dapat mendukung kebenaran wahyu, perpaduan kedua unsur ini adalah ajaran islam.
Ajaran ijtihat dalam islam menjadi suatu bukti, betapa islam mendorong penggunaan akal dan pengembangan ilmu bagi manusia. Tapi pertumbuhan dan pengembangan ilmu tidak boleh berjalan sendirian tanpa dasar dan tujuan. Ia harus berjalan seiring dengan wahyu dan iman. Pengembangan ilmu dan teknologi harus selalu dibawah kontrol agama. Karena agama meletakkan dasar motifasi dan memberikan tujuan hakiki bagi kehidupan manusia. Terlepasnya agama akan memberikan kehidupan yang pincang, kehidupan manusia terancam kerusakan dan kehancuran.
Dengan ajaran keseimbangan dari Al-qur’an yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, maka dalam periode yang kurang dari satu generasi yakni 23 tahun, Nabi Muhammad SAW sukses membangun suatu bangsa dan lebih jauh dari pada itu, beliau berhasil membangun kemanusiaan yang tak ada taranya dalam sejarah. Dan generasi sesudahnya, bangsa primitif yang satu generasi yang lampau itu, telah menjadi umat yang dipertuan dan memegang kendali kekuasaan dalam bidang spiritual dan materiil atas bangsa-bangsa yang lebih tua kebudayaannya ketika itu, khususnya romawi, parsi dan mesir. Dalam hubungan ini ahli pikir perancis Dr. Gustave Le Bone berkata:
“Dalam satu abad atau tiga keturunan, bangsa-bangsa manusia tidak dapat mengadakan perubahan yang berarti. Bangsa perancis sendiri memerlukan 30 keturunan atau 1000 tahun baru dapat mengadakan masyarakat yang bercelup perancis. Ini adalah terdapat pada seluruh bangsa-bangsa dan umat, tidak ada yang terkecuali dalam hal ini selain dari umat islam, sebab Nabi Muhammad SAW sudah dapat mengadakan suatu masyarakat baru dalam tempo 1(satu) turunan 23 tahun yang tidak dapat ditiru atau diperbuat oleh orang lain.”
Selama ajaran islam diterapkan yaitu keseimbangan ketaatan beragama, perkembangan akal bebas dan ilmu pengetahuan, umat islam dalam masa berabad-abad telah menjadi pimpinan manusia di timur dan dibarat. Dari pusat-pusat kebudayaan islam, memencar sinar gemerlap menerangi penjuru-penjuru dunia. Sejarah kebudayaan mencatat tempat-tempat itu adalah: Baghdad, Damaskus, Istambul, Cordova, Sevilla dan Granada.
Akan tetapi manakala umat islam telah ramai-ramai meninggalkan medan ilmu pengetahuan, kemerdekaan berpikir dikekang, bahkan ditindas, sejak itulah kultur islam meluncur jatuh. Kemunduran kultur mengakibatkan kehidupan lemah dan rusak dalam segala bidang. Akhirnya dalam beberapa abad umat islam menjadi mangsa umat lain, menjadi umat yang dijajah oleh bangsa barat, barulah dipenghujung abad ke XIX kesadaran bangkit kembali. Abad ke-XX menjadi abad reneisans dan kebangkitan umat islam. Pendidikan dan pengajaran dalam masyarakat islam di modernisir untuk mengejar ketinggalan yang jauh, disamping perjuangan fisik dan politik dalam rangka kemerdekaan dari belenggu Imperialisme. Akhirnya bangkitlahsatu demi satu sebagai bangsa yang merdekadan berdaulat ke dalam dan keluar.
Sehubungan analisa dimuka, ada tiga hal dalam perhubungan ilmu dan agama.
1.      Kuasa agama terhadap ilmu,dimana ilmu harus tunduk dan tidak boleh menentang dogmatik agama, seperti dalam sejarah abad pertengahan di dunia barat.
2.      Pemisahan agama dan ilmu, suatu pemisahan yang menarik garis demarkasi dengan menentukan batas-batas daerah masing-masing. Agama adalah masalah pribadi dan hub individu dengan tuhan. Ilmu adalah untuk ilmu. Pada peristiwa inilah lahirlah dunia atheisme dan dunia sekularisme.
3.      Integrasi agama (iman dan abadah) dengan ilmu inilah ajaran islam.
Ilmu pengetahuan dilandaskan pada keyakinan bahwa pengalaman dan upaya daya akal budi itu absah. Teori ilmu pengetahuan dipengaruhi dan ditetapkan secara kuat oleh logika. Manusia memperoleh pengetahuan bukan saja untuk menguasai alam tetapi juga membawa dia ke arah kehidupan yang mempunyai nilai-nilai tertentu. Ilmu pengetahuan merupakan ranah profan. Pengetahuan yang disusun oleh sains bersifat temporal dan pragmatis. Sains tidak bermaksud untuk menemukan kebenaran yang bersifat abadi melainkan cukup kebenaran yang bersifat sementara, yang fungsional dalam kurun waktu tertentu.
Hal ini lain sekali dengan moral yang diajarkan oleh agama yang bersifat abadi yang didak berubah dari masa ke masa. Sains sebagai alat, jika tanpa agama sebagai kompas, tidak akan membawa manusia ke arah kebaikan dan kebahagiaan. Sebaliknya sains hanya akan membawa malapetakan dan kesengsaraan. Di lain pihak, agama tanpa ilmu, tujuan yang mulia tanpa peralatan untuk mewujudkannya, akan tetap merupakan utopia dan angan-angan belaka.
Isi dari pengetahuan rasional dan dari adat kebiasaan, magi dipadukan dalam tradisi yang berbeda dan latar belakang sosial yang berbeda dan diakorporasikan dalam aktivitas yang berbeda pula dan semua perbandingan ini diakui secara jelas oleh orang-orang primitif. Sains bersifat individual sedangkan agama lebih bersifat sosial. Agama diungkapkan dalam mitos dan upacara yang mempunyai makna sosial, dimana seluruh suku ambil bagian, sedangkan magi hanya merupakan keadaan dimana seseorang mempergunakan sihir untuk memenuhi maksud tertentu.
Sains dalam tiap bentuknya hanya sekali datang dan dimiliki oleh manusia. Sains harus diturunalihkan dalam pertalian langsung dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga magi selalu dikuasai oleh sekelompok spesialisasi saja. Agama dimaksudkan untuk semua, dimana setiap orang bisa ambil bagian serta aktif dengan peran yang sama. Pada saatnya mereka yang diinisiasi akan menginisiasi, meratapi dan mengenang roh sebagai spirit.
Salah satu spesialisasi dari agama bukan profesi tetapi kharisma. Dasar pada agama bersifat moral; harus berurusan atau menangani peristiwa-peristiwa yang tidak bisa diatasi dan supernatural. Sehingga jika manusia keliru menjalankannya tidak berpengaruh (ex opere operato). Pernyataan tentang alam yang terdapat dalam agama bukanlah penyataan yang bersifat kognitif dan faktual melainkan afektif dan simbolik. Agama tidak mengajarkan teori tentang alam tetapi menghimbau agar manusia mempelajari alam dalam pernyataan simbolik yang mampu ditafsirkan oleh manusia sesuai tingkat kemampuan berpikirnya.
Untuk memperjelas tentang pandangan islam terhadap ilmu, diterangkan ayat-ayat berikut:
Beberapa firman Allah SWT:
Ø  QS. Az zumar:9
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.
Ø  QS,AliImran:18.
‘’Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Ø  QS. Al Mujadalah :11
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ø  QS.Al-Fathir:28
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun”.
Ø  QS.At-taubat:122
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”
Demikianlah secara sederhana dapat diprediksikan bahwa pandangan kaum agamawan terhadap sains dan teknologi sangat lekat dengan kritik karena secara substansial mereka telah menghegemoni sains yang dipersepsikan netral dan bebas nilai. Kecenderungan akhir dari pewacanaan tersebut telah menyebabkan sains menjadi alat kuasa yang jelas bisa ditebak bagaimana posisi agama dalam persinggungan wacana dengan sains. Tapi secara arif sekali lagi diakui bahwa kebenaran sejati selalu terbuka untuk dikritik dan difalsifikasi, dibongkar dan dipertanyakan, dan selebihnya adalah secara alamiah mengiringi kebudayaan manusia. baiklah kalau tidak sepakat, sejenak kita renungkan makna filosofis ungkapan Albert Einstein "ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah hampa".
B.     Hubungan Al-Qur’an dengan Ilmu Pengetahuan
Dalam kitabnya Jawahir Al-Qur’an, Imam Al-Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an Al-Karim.[1]Membahas hubungan antara Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; ilmu computer tercantum dalam al-Qur’an; tetapi yang lebih utama adalah adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Qur’an yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lain, meletakkanya pada sisi ‘’social psychology’’(psikologi social) bukan pada sisi ‘’history of scientific progress’’(sejarah perkembangan ilmu pengetahuan). Anggaplah bahwa setiap ayat dari ke-6.226 ayat yang tercantum dalam Al-Qur’an (menurut perhitungan kuffah) mengandung suatu teori ilmiah, kemudian apa hasilnya? Apakah keuntungan yang diperoleh dengan mengetahui teori-teori tersebut bila masyarakat tidak diberi ‘’hidayah’’ atau petunjuk guna kemajuan ilmu pengetahuan atau menyingkirkan hal-hal yang dapat menghambatnya.
Malik bin Nabi di dalam kitabnya Intaj Al-Mustasyrikin wa At-saruhu fi Al-fiqriy Al-hadits, menulis: ‘’Ilmu pengetahuan adalah sekumpulan masalah serta sekumpulan metode yang dipergunakan menuju tercapainya masalah tersebut.’’[2]
Selanjutnya beliau menerangkan : ‘’Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya terbatas dalam bidang-bidang tesebut, tetapi tergantung pula pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorongnya lebih jauh’’.
Ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya dinilai dengan apa yang dipersembahkanya pada masyarakat, tetapi juga diukur dengan wujudnya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan itu.
Sejarah membuktikan bahwa Galileo, ketika mengungkapkan penemuanya bahwa bumi ini beredar, tidak mendapat counter dari suatu lembaga ilmiah. Tetapi, masyarakat tempat ia hidup malah memberikan tantangan kepadanya atas dasar-dasar kepercayaan dogma, sehingga Galileo pada akhirnya menjadi korban tantangan tersebut atau korban penemuanya sendiri. Hal ini akibat belum terwujudnya syarat-syarat sosial dan psikologis yang disebutkan di atas. Dari segi inilah kita dapat menilai hubungan Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan.
Di dalam Al-Qur’an tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan untuk mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Allah berfirman: Katakanlah hai Muhammad:’’Aku hanya menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah.’’(QS 34;36).
Demikianlah Al-Qur’an telah membentuk satu iklim baru yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menhalangi kemajuanya.
Ayat-ayat di atas cukup memberi gambaran bahwa menuntut ilmu adalah salah satu sisi dari ajaran islam. Dengan kata lain ilmu dan agama tidaklah mungkin dipisahkan, pola berfikir dan bertindak memisah-misahkan ilmu dan agama, memisahkan agama dengan urusan lainnya sama sekali tidak ada dasarnya dalam islam. Dalam islam tidak ada orang-orang yang berfikiran sekuler. Islam adalah suatu totalitas.
Dr. Maurice Bucaille (Dr. Ahli bedah Perancis) dalam bukunya “La Bible Le Qoran Et La Science”(Bible, Qur’an dan Sains modern) setelah mengemukakan bukti-bukti yang amat banyak dengan penyelidikan selama kurang lebih 20 tahun menyimpulkan :
1.      Al Qur’an adalah wahyu ilahi yang murni.
2.      Al Qur’an masih asli.
3.      Al Qur’an sejarahnya amat terang sekali.
4.      Al Qur’an tidak mengandung suatu pernyataan yang dapat dikritik dari segi pandangan ilmiyah dizaman modern ini.
5.      Dalam Al Qur’an agama dan ilmu pengetahuan selalu dianggap sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dari semula mempelajari ilmu pengetahuan menurut Al Qur’an merupakan bagian dari kewajiban keagamaan.
Tentunya timbul suatu pertanyaan. Mengapa pada sebagian orang yang mengaku dirinya islam,terdapat pola berpikir dan bertindak sekule? Bukankah islam tidak memungkinkan sikap tadi?
            Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu kiranya kita melihat kembali sejarah pertentangan ilmu dan agama yang terjadi di dunia barat seperti yang diterangkan sebelumnya. Setelah itu kita pelajari tentang penjajahan bangsa-bangsa barat atas umat islam, pada masa kemunduran umat islam.
Pertama-tama kita lihat kembali sejarah pertentangan ilmu dan agama yang terjadi didunia barat.
Problem yang sebenarnya terjadi di duniabarat pada saat terjadi pertentangan tajam antar ilmu dan agama adalah dikarenakan mereka tidak mendapatiagamanya sebagai suatu yang dapat mengimbangi tingkat kecerdasan dan pengetahuan agama mereka yang dapat mendidik dan membuka alam fikiran mereka serta mendorong mereka untuk mencapai kesempurnaan jasmani dan rohani, kesejahteraan material spiritual.
Manusia pada zaman yang lalu ketika tingkat pemikiran dan kecerdasannya masih rendah dapat saja menerima segala apa yang disodorkan kepadanya agama atau kepercayaan tanpa merasa perluuntuk menyelidiki dan mempertimbangkannya, walaupun apa yang disodorkankepadanya itu hal-hal yang termasuk khurofat dan tahayul yang tidak dapat diterima oleh akal.
Hal yang demikian itu tidak berlaku lagi pada masa dimana manusia hidup pada abad teknologi yang maju pesat. Ia menghendaki agama yang dianutnya itu memuaskan akalnya dan dapat diterima oleh tingkat kecerdasan otaknya, serta dapat pula mengimbangi kemajuan zaman. Dengan tiada menghalanginya mengecap buah usahanya berupa kelezatan dan kebahagiaan rohani dan jasmani.
Tidak dikenalnya agama yang demikian sifatnya itu adalah salah satu dari sebab yang menyebabkan para cendekiawan dan cerdik pandai di dunia barat mempunyai saham tidak sedikit pembangunan dan pembinaan peradaban barat berpaling dari agama dan hanya bersandar pada akal dan fikiran dalam menilai segala sesuatu. Itulah awal timbulnya sekularisme.
C.     Peran Agama terhadap Perkembangan Sains
Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua) Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah
yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada
sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan
landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan.
Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu
pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan,
sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar
bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria
inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat
(pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang.
Paradigma Hubungan Agama-Iptek Untuk memperjelas, akan disebutkan dulu beberapa pengertian
dasar. Ilmu pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang
diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah (scientific method) (Jujun
S. Suriasumantri, 1992). Sedang teknologi adalah pengetahuan dan ketrampilan
yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia sehari-hari
(Jujun S. Suriasumantri,1986). Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala
langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek
(Agus, 1999). Agama yang dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia
dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan
dirinya sendiri (dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan
manusia dengan manusia lainnya (dengan aturan mu’amalah dan uqubat/sistem
pidana) (An-Nabhani, 2001).
paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah
dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu
pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam Al-Qur`an
dan Al-Hadits-- menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas
yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan
manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala
pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa
kita pahami dari ayat yang pertama kali turun (artinya) :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (QS Al-Alaq 96 ; 1)
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh
berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh
lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu
tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam
(Al-Qashash, 1995:81).
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu
pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit,
melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu
(Yahya Farghal, 1994:117). Firman Allah SWT (artinya) :
Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu. (QS An-Nisaa`
4 : 126)
Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS
Ath-Thalaq 65 : 12)
Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah SAW (w. 632 M) yang
meletakkan Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah
sebagai asas ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu,
lalu setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi
berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika
di masa Rasulullah SAW terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan
wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata. Gerhana matahari ini
terjadi karena meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah SAW segera menjelaskan :
Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau
kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah.
Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-
Nya (HR. Al-Bukhari dan An-Nasa`i) (Al-Baghdadi, 1996:10)
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah SAW telah meletakkan
Aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa
fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada
hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang
tertera dalam Al-Qur`an (artinya) :
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.

(QS Ali Imran 3 :190)
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai
dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak
muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah
hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada
masa kejayaan Ilmu pengetahuan Dunia Islam antara tahun 700  1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur,
Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w.
858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar
kedokteran, ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli
kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi (Tentang kejayaan iptek Dunia
Islam lihat misalnya M. Natsir Arsyad, 1992; Hossein Bahreisj, 1995; Ahmed dkk,
1999; Eugene A. Myers 2003; A. Zahoor, 2003; Gunadi dan Shoel

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa Agama sangat konsen  terhadap ilmu pengetahuan bahkan hampir setiap lembar al qur’an teradapat ayat- ayat kauniyah sebagai bukti bahwa al qur’an sebagai sumber ajaran agama Islam sangat singkron (sesuai) dengan ilmu pengetahuan. Al qur’an menerangkan secara global akan tetapi ilmu pengetahuanlah yang akan menjelaskan secara detil dan  terinci Sebenarnya kita dipancing oleh Allah SWT untuk melakukan kajian,  eksperimen, dan melakukan penelitian untuk membuktikan secara empiris  kebenaran al qur’an tersebut. 
Daftar Pustaka


[1] Lihat Dr. M. Quraish Shihab, M.A, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, 1992, hal.41-42
[2] Terbitan Dar Al-Irsyad, 1969, h.30