Kumpulan Makalah

Ilmu Itu Murah Maka Amalkanlah

Senin, 08 Agustus 2011

Eksistensi Sains dalam Pandangan Agama


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Kata Pengantar
Sejak akhir abad ke-19 hingga kini, salah satu persoalan besar yang diangkat para pemikir Muslim adalah sikap yang mesti diambil terhadap ilmu pengetahuan modern di dunia Barat. Perdebatan mereka dilatarbelakangi kesadaran bahwa dunia Islam pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan, tetapi pada Zaman Baru telah jauh tertinggal oleh dunia Barat. Perbincangan tentang Islam dan ilmu pengetahuan sejak akhir abad ke-19 itu memiliki dua aspek penting.
Pertama, periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam pemikiran Islam. Penyebab utamanya adalah kontak yang semakin intensif – pada beberapa kasus bahkan berupa benturan fisik – antara dunia Islam dan peradaban Barat. Gagasan seperti “kemodernan” serta “modernisme”, “westernisasi” atau pembaratan, dan “sekularisme” menjadi objek utama perhatian para pemikir Muslim. Demikian luasnya penyebaran gagasan baru itu sehingga tak berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran baru Islam lahir dari keinginan menanggapinya.
Kedua, sejak awal perkembangan Islam, ilmu -berdasarkan pengamatan, wahyu, atau renungan para sufi- sebagai induk ilmu pengetahuan selalu mendapatkan perhatian para pemikir Muslim. Bertemu dengan kecenderungan di atas, perhatian tersebut mengambil bentuk tanggapan terhadap perkembangan pesat ilmu pengetahuan modern di dunia Barat, yang dianggap tidak berinduk pada suatu ilmu yang benar. Tanggapan itu, karena lebih merupakan reaksi daripada usaha atas prakarsa sendiri, pada diri beberapa pemikir dan aliran pemikiran merupakan penyempitan wilayah wacana tentang ilmu dan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan periode sebelumnya, khususnya masa awal perkembangan intelektual Islam.
Pengaruh agama dan sains tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan kehidupan manusia, agama yang bersifat teosentris-doktriner dan dogmatik tidak jarang menjadikan pemeluknya sebagai tumbal demi eksistensi dan kiprahnya di altar dunia. Pengorbanan yang semacam itu merupakan pembelaan terhadap keyakinan bahwa agama merupakan kebenaran absolut yang akan memberikan puncak kebahagian (happy ending) pada pemeluknya. Sedangkan sains berikut produk dan turunannya berwajah ganda, artinya sains bisa memberikan sumbangan yang positif-konstruktif bagi kehidupan manusia, namun tidak jarang juga memberikan trend negatif dalam perjalannanya.
Sejak abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan itu melahirkan pemikiran tentang antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat beragam. Tanggapan tersebut dapat berarti usaha apologetis untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat sebenarnya bersifat “islami”. Bisa pula merupakan usaha mengakomodasi sebagian nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern karena dianggap islami, sambil menolak sebagian lain. Tidak pula bisa dilupakan usaha “islamisasi” berbagai cabang ilmu pengetahuan dan penciptaan suatu “filsafat ilmu pengetahuan Islam”. Akhirnya ada upaya rekonstruksi pandangan dunia serta epistemologi Islam.
Kesemua tanggapan itu dapat dikelompokkan ke dalam dua wacana besar. Pembagian atas dua wacana ini sebagian bersifat kronologis dan sebagian lagi tematis. Wacana pertama, yang berkembang sejak abad ke-19, terfokus pada penegasan bahwa tidak terdapat pertentangan antara ilmu pengetahuan dan Islam. Penegasan tersebut didasarkan pada pandangan instrumentalis tentang ilmu pengetahuan, artinya pandangan bahwa ilmu pengetahuan sekedar alat dan tidak terikat pada nilai atau agama tertentu. Sementara hingga kini wacana tersebut masih kerap muncul, ada pula wacana baru yang mendominasi perbincangan tentang ilmu pengetahuan dan Islam sejak setidaknya akhir tahun 1960-an, yaitu tentang “islamisasi” ilmu pengetahuan.
B.     Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana Eksistensi Sains dalam Pandangan Agama?    

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pandangan Agama terhadap Ilmu Pengetahuan
Adalah perlu diketahui bahwa ajaran islam ada masalah-masalah yang termasuk ta’abbudi(semata-mata ibadah) dan ada masalah ta’qulli(dapat diakali) walaupun tidak semua demikian. Sebagai contoh berwudlu, mengapa dalam berwudlu itu yang harus dibasuh hanya bagian-bagian tertentu saja, ini namanya ta’abbudi. Akan tetapi berwudlu itu sendiri tidak bertentangan dengan akal bahkan dapat dimengerti dan dicari hikmahnya, ini ta’qulli. Maka antara wahyu Allah dan ilmu dapat bertemu dan ilmu dapat dapat mendukung kebenaran wahyu, perpaduan kedua unsur ini adalah ajaran islam.
Ajaran ijtihat dalam islam menjadi suatu bukti, betapa islam mendorong penggunaan akal dan pengembangan ilmu bagi manusia. Tapi pertumbuhan dan pengembangan ilmu tidak boleh berjalan sendirian tanpa dasar dan tujuan. Ia harus berjalan seiring dengan wahyu dan iman. Pengembangan ilmu dan teknologi harus selalu dibawah kontrol agama. Karena agama meletakkan dasar motifasi dan memberikan tujuan hakiki bagi kehidupan manusia. Terlepasnya agama akan memberikan kehidupan yang pincang, kehidupan manusia terancam kerusakan dan kehancuran.
Dengan ajaran keseimbangan dari Al-qur’an yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, maka dalam periode yang kurang dari satu generasi yakni 23 tahun, Nabi Muhammad SAW sukses membangun suatu bangsa dan lebih jauh dari pada itu, beliau berhasil membangun kemanusiaan yang tak ada taranya dalam sejarah. Dan generasi sesudahnya, bangsa primitif yang satu generasi yang lampau itu, telah menjadi umat yang dipertuan dan memegang kendali kekuasaan dalam bidang spiritual dan materiil atas bangsa-bangsa yang lebih tua kebudayaannya ketika itu, khususnya romawi, parsi dan mesir. Dalam hubungan ini ahli pikir perancis Dr. Gustave Le Bone berkata:
“Dalam satu abad atau tiga keturunan, bangsa-bangsa manusia tidak dapat mengadakan perubahan yang berarti. Bangsa perancis sendiri memerlukan 30 keturunan atau 1000 tahun baru dapat mengadakan masyarakat yang bercelup perancis. Ini adalah terdapat pada seluruh bangsa-bangsa dan umat, tidak ada yang terkecuali dalam hal ini selain dari umat islam, sebab Nabi Muhammad SAW sudah dapat mengadakan suatu masyarakat baru dalam tempo 1(satu) turunan 23 tahun yang tidak dapat ditiru atau diperbuat oleh orang lain.”
Selama ajaran islam diterapkan yaitu keseimbangan ketaatan beragama, perkembangan akal bebas dan ilmu pengetahuan, umat islam dalam masa berabad-abad telah menjadi pimpinan manusia di timur dan dibarat. Dari pusat-pusat kebudayaan islam, memencar sinar gemerlap menerangi penjuru-penjuru dunia. Sejarah kebudayaan mencatat tempat-tempat itu adalah: Baghdad, Damaskus, Istambul, Cordova, Sevilla dan Granada.
Akan tetapi manakala umat islam telah ramai-ramai meninggalkan medan ilmu pengetahuan, kemerdekaan berpikir dikekang, bahkan ditindas, sejak itulah kultur islam meluncur jatuh. Kemunduran kultur mengakibatkan kehidupan lemah dan rusak dalam segala bidang. Akhirnya dalam beberapa abad umat islam menjadi mangsa umat lain, menjadi umat yang dijajah oleh bangsa barat, barulah dipenghujung abad ke XIX kesadaran bangkit kembali. Abad ke-XX menjadi abad reneisans dan kebangkitan umat islam. Pendidikan dan pengajaran dalam masyarakat islam di modernisir untuk mengejar ketinggalan yang jauh, disamping perjuangan fisik dan politik dalam rangka kemerdekaan dari belenggu Imperialisme. Akhirnya bangkitlahsatu demi satu sebagai bangsa yang merdekadan berdaulat ke dalam dan keluar.
Sehubungan analisa dimuka, ada tiga hal dalam perhubungan ilmu dan agama.
1.      Kuasa agama terhadap ilmu,dimana ilmu harus tunduk dan tidak boleh menentang dogmatik agama, seperti dalam sejarah abad pertengahan di dunia barat.
2.      Pemisahan agama dan ilmu, suatu pemisahan yang menarik garis demarkasi dengan menentukan batas-batas daerah masing-masing. Agama adalah masalah pribadi dan hub individu dengan tuhan. Ilmu adalah untuk ilmu. Pada peristiwa inilah lahirlah dunia atheisme dan dunia sekularisme.
3.      Integrasi agama (iman dan abadah) dengan ilmu inilah ajaran islam.
Ilmu pengetahuan dilandaskan pada keyakinan bahwa pengalaman dan upaya daya akal budi itu absah. Teori ilmu pengetahuan dipengaruhi dan ditetapkan secara kuat oleh logika. Manusia memperoleh pengetahuan bukan saja untuk menguasai alam tetapi juga membawa dia ke arah kehidupan yang mempunyai nilai-nilai tertentu. Ilmu pengetahuan merupakan ranah profan. Pengetahuan yang disusun oleh sains bersifat temporal dan pragmatis. Sains tidak bermaksud untuk menemukan kebenaran yang bersifat abadi melainkan cukup kebenaran yang bersifat sementara, yang fungsional dalam kurun waktu tertentu.
Hal ini lain sekali dengan moral yang diajarkan oleh agama yang bersifat abadi yang didak berubah dari masa ke masa. Sains sebagai alat, jika tanpa agama sebagai kompas, tidak akan membawa manusia ke arah kebaikan dan kebahagiaan. Sebaliknya sains hanya akan membawa malapetakan dan kesengsaraan. Di lain pihak, agama tanpa ilmu, tujuan yang mulia tanpa peralatan untuk mewujudkannya, akan tetap merupakan utopia dan angan-angan belaka.
Isi dari pengetahuan rasional dan dari adat kebiasaan, magi dipadukan dalam tradisi yang berbeda dan latar belakang sosial yang berbeda dan diakorporasikan dalam aktivitas yang berbeda pula dan semua perbandingan ini diakui secara jelas oleh orang-orang primitif. Sains bersifat individual sedangkan agama lebih bersifat sosial. Agama diungkapkan dalam mitos dan upacara yang mempunyai makna sosial, dimana seluruh suku ambil bagian, sedangkan magi hanya merupakan keadaan dimana seseorang mempergunakan sihir untuk memenuhi maksud tertentu.
Sains dalam tiap bentuknya hanya sekali datang dan dimiliki oleh manusia. Sains harus diturunalihkan dalam pertalian langsung dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga magi selalu dikuasai oleh sekelompok spesialisasi saja. Agama dimaksudkan untuk semua, dimana setiap orang bisa ambil bagian serta aktif dengan peran yang sama. Pada saatnya mereka yang diinisiasi akan menginisiasi, meratapi dan mengenang roh sebagai spirit.
Salah satu spesialisasi dari agama bukan profesi tetapi kharisma. Dasar pada agama bersifat moral; harus berurusan atau menangani peristiwa-peristiwa yang tidak bisa diatasi dan supernatural. Sehingga jika manusia keliru menjalankannya tidak berpengaruh (ex opere operato). Pernyataan tentang alam yang terdapat dalam agama bukanlah penyataan yang bersifat kognitif dan faktual melainkan afektif dan simbolik. Agama tidak mengajarkan teori tentang alam tetapi menghimbau agar manusia mempelajari alam dalam pernyataan simbolik yang mampu ditafsirkan oleh manusia sesuai tingkat kemampuan berpikirnya.
Untuk memperjelas tentang pandangan islam terhadap ilmu, diterangkan ayat-ayat berikut:
Beberapa firman Allah SWT:
Ø  QS. Az zumar:9
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.
Ø  QS,AliImran:18.
‘’Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Ø  QS. Al Mujadalah :11
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ø  QS.Al-Fathir:28
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun”.
Ø  QS.At-taubat:122
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”
Demikianlah secara sederhana dapat diprediksikan bahwa pandangan kaum agamawan terhadap sains dan teknologi sangat lekat dengan kritik karena secara substansial mereka telah menghegemoni sains yang dipersepsikan netral dan bebas nilai. Kecenderungan akhir dari pewacanaan tersebut telah menyebabkan sains menjadi alat kuasa yang jelas bisa ditebak bagaimana posisi agama dalam persinggungan wacana dengan sains. Tapi secara arif sekali lagi diakui bahwa kebenaran sejati selalu terbuka untuk dikritik dan difalsifikasi, dibongkar dan dipertanyakan, dan selebihnya adalah secara alamiah mengiringi kebudayaan manusia. baiklah kalau tidak sepakat, sejenak kita renungkan makna filosofis ungkapan Albert Einstein "ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah hampa".
B.     Hubungan Al-Qur’an dengan Ilmu Pengetahuan
Dalam kitabnya Jawahir Al-Qur’an, Imam Al-Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an Al-Karim.[1]Membahas hubungan antara Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; ilmu computer tercantum dalam al-Qur’an; tetapi yang lebih utama adalah adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Qur’an yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lain, meletakkanya pada sisi ‘’social psychology’’(psikologi social) bukan pada sisi ‘’history of scientific progress’’(sejarah perkembangan ilmu pengetahuan). Anggaplah bahwa setiap ayat dari ke-6.226 ayat yang tercantum dalam Al-Qur’an (menurut perhitungan kuffah) mengandung suatu teori ilmiah, kemudian apa hasilnya? Apakah keuntungan yang diperoleh dengan mengetahui teori-teori tersebut bila masyarakat tidak diberi ‘’hidayah’’ atau petunjuk guna kemajuan ilmu pengetahuan atau menyingkirkan hal-hal yang dapat menghambatnya.
Malik bin Nabi di dalam kitabnya Intaj Al-Mustasyrikin wa At-saruhu fi Al-fiqriy Al-hadits, menulis: ‘’Ilmu pengetahuan adalah sekumpulan masalah serta sekumpulan metode yang dipergunakan menuju tercapainya masalah tersebut.’’[2]
Selanjutnya beliau menerangkan : ‘’Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya terbatas dalam bidang-bidang tesebut, tetapi tergantung pula pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorongnya lebih jauh’’.
Ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya dinilai dengan apa yang dipersembahkanya pada masyarakat, tetapi juga diukur dengan wujudnya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan itu.
Sejarah membuktikan bahwa Galileo, ketika mengungkapkan penemuanya bahwa bumi ini beredar, tidak mendapat counter dari suatu lembaga ilmiah. Tetapi, masyarakat tempat ia hidup malah memberikan tantangan kepadanya atas dasar-dasar kepercayaan dogma, sehingga Galileo pada akhirnya menjadi korban tantangan tersebut atau korban penemuanya sendiri. Hal ini akibat belum terwujudnya syarat-syarat sosial dan psikologis yang disebutkan di atas. Dari segi inilah kita dapat menilai hubungan Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan.
Di dalam Al-Qur’an tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan untuk mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Allah berfirman: Katakanlah hai Muhammad:’’Aku hanya menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah.’’(QS 34;36).
Demikianlah Al-Qur’an telah membentuk satu iklim baru yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menhalangi kemajuanya.
Ayat-ayat di atas cukup memberi gambaran bahwa menuntut ilmu adalah salah satu sisi dari ajaran islam. Dengan kata lain ilmu dan agama tidaklah mungkin dipisahkan, pola berfikir dan bertindak memisah-misahkan ilmu dan agama, memisahkan agama dengan urusan lainnya sama sekali tidak ada dasarnya dalam islam. Dalam islam tidak ada orang-orang yang berfikiran sekuler. Islam adalah suatu totalitas.
Dr. Maurice Bucaille (Dr. Ahli bedah Perancis) dalam bukunya “La Bible Le Qoran Et La Science”(Bible, Qur’an dan Sains modern) setelah mengemukakan bukti-bukti yang amat banyak dengan penyelidikan selama kurang lebih 20 tahun menyimpulkan :
1.      Al Qur’an adalah wahyu ilahi yang murni.
2.      Al Qur’an masih asli.
3.      Al Qur’an sejarahnya amat terang sekali.
4.      Al Qur’an tidak mengandung suatu pernyataan yang dapat dikritik dari segi pandangan ilmiyah dizaman modern ini.
5.      Dalam Al Qur’an agama dan ilmu pengetahuan selalu dianggap sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dari semula mempelajari ilmu pengetahuan menurut Al Qur’an merupakan bagian dari kewajiban keagamaan.
Tentunya timbul suatu pertanyaan. Mengapa pada sebagian orang yang mengaku dirinya islam,terdapat pola berpikir dan bertindak sekule? Bukankah islam tidak memungkinkan sikap tadi?
            Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu kiranya kita melihat kembali sejarah pertentangan ilmu dan agama yang terjadi di dunia barat seperti yang diterangkan sebelumnya. Setelah itu kita pelajari tentang penjajahan bangsa-bangsa barat atas umat islam, pada masa kemunduran umat islam.
Pertama-tama kita lihat kembali sejarah pertentangan ilmu dan agama yang terjadi didunia barat.
Problem yang sebenarnya terjadi di duniabarat pada saat terjadi pertentangan tajam antar ilmu dan agama adalah dikarenakan mereka tidak mendapatiagamanya sebagai suatu yang dapat mengimbangi tingkat kecerdasan dan pengetahuan agama mereka yang dapat mendidik dan membuka alam fikiran mereka serta mendorong mereka untuk mencapai kesempurnaan jasmani dan rohani, kesejahteraan material spiritual.
Manusia pada zaman yang lalu ketika tingkat pemikiran dan kecerdasannya masih rendah dapat saja menerima segala apa yang disodorkan kepadanya agama atau kepercayaan tanpa merasa perluuntuk menyelidiki dan mempertimbangkannya, walaupun apa yang disodorkankepadanya itu hal-hal yang termasuk khurofat dan tahayul yang tidak dapat diterima oleh akal.
Hal yang demikian itu tidak berlaku lagi pada masa dimana manusia hidup pada abad teknologi yang maju pesat. Ia menghendaki agama yang dianutnya itu memuaskan akalnya dan dapat diterima oleh tingkat kecerdasan otaknya, serta dapat pula mengimbangi kemajuan zaman. Dengan tiada menghalanginya mengecap buah usahanya berupa kelezatan dan kebahagiaan rohani dan jasmani.
Tidak dikenalnya agama yang demikian sifatnya itu adalah salah satu dari sebab yang menyebabkan para cendekiawan dan cerdik pandai di dunia barat mempunyai saham tidak sedikit pembangunan dan pembinaan peradaban barat berpaling dari agama dan hanya bersandar pada akal dan fikiran dalam menilai segala sesuatu. Itulah awal timbulnya sekularisme.
C.     Peran Agama terhadap Perkembangan Sains
Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua) Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah
yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada
sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan
landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan.
Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu
pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan,
sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar
bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria
inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat
(pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang.
Paradigma Hubungan Agama-Iptek Untuk memperjelas, akan disebutkan dulu beberapa pengertian
dasar. Ilmu pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang
diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah (scientific method) (Jujun
S. Suriasumantri, 1992). Sedang teknologi adalah pengetahuan dan ketrampilan
yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia sehari-hari
(Jujun S. Suriasumantri,1986). Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala
langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek
(Agus, 1999). Agama yang dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia
dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan
dirinya sendiri (dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan
manusia dengan manusia lainnya (dengan aturan mu’amalah dan uqubat/sistem
pidana) (An-Nabhani, 2001).
paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah
dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu
pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam Al-Qur`an
dan Al-Hadits-- menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas
yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan
manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala
pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa
kita pahami dari ayat yang pertama kali turun (artinya) :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (QS Al-Alaq 96 ; 1)
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh
berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh
lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu
tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam
(Al-Qashash, 1995:81).
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu
pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit,
melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu
(Yahya Farghal, 1994:117). Firman Allah SWT (artinya) :
Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu. (QS An-Nisaa`
4 : 126)
Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS
Ath-Thalaq 65 : 12)
Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah SAW (w. 632 M) yang
meletakkan Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah
sebagai asas ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu,
lalu setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi
berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika
di masa Rasulullah SAW terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan
wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata. Gerhana matahari ini
terjadi karena meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah SAW segera menjelaskan :
Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau
kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah.
Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-
Nya (HR. Al-Bukhari dan An-Nasa`i) (Al-Baghdadi, 1996:10)
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah SAW telah meletakkan
Aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa
fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada
hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang
tertera dalam Al-Qur`an (artinya) :
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.

(QS Ali Imran 3 :190)
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai
dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak
muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah
hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada
masa kejayaan Ilmu pengetahuan Dunia Islam antara tahun 700  1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur,
Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w.
858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar
kedokteran, ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli
kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi (Tentang kejayaan iptek Dunia
Islam lihat misalnya M. Natsir Arsyad, 1992; Hossein Bahreisj, 1995; Ahmed dkk,
1999; Eugene A. Myers 2003; A. Zahoor, 2003; Gunadi dan Shoel

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa Agama sangat konsen  terhadap ilmu pengetahuan bahkan hampir setiap lembar al qur’an teradapat ayat- ayat kauniyah sebagai bukti bahwa al qur’an sebagai sumber ajaran agama Islam sangat singkron (sesuai) dengan ilmu pengetahuan. Al qur’an menerangkan secara global akan tetapi ilmu pengetahuanlah yang akan menjelaskan secara detil dan  terinci Sebenarnya kita dipancing oleh Allah SWT untuk melakukan kajian,  eksperimen, dan melakukan penelitian untuk membuktikan secara empiris  kebenaran al qur’an tersebut. 
Daftar Pustaka


[1] Lihat Dr. M. Quraish Shihab, M.A, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, 1992, hal.41-42
[2] Terbitan Dar Al-Irsyad, 1969, h.30

Senin, 28 Maret 2011

Ulumul Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN
               Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan  kesatuan  utuh. Tak  ada pertentangan  satu  dengan  lainnya. Masing-masing saling menjelaskan  al-Qur'an  yufassir-u  ba'dhuhu  ba'dha. Dari  segi  kejelasan,  ada  empat  tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua,  cukup  jelas bagi  yang  bisa  berbahasa  Arab.  Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya  Allah  yang  mengetahui maksudnya.
               Dalam  al-Qur'an  dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab yang sudah mempunyai  kekuatan  hukum tetap.  Ketentuan-ketentuan  induk  itulah  yang  senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan  pedoman  pengembangan berbagai    pengertian,    sejalan    dengan   sistematisasi interpretasi dalam ilmu  hukum  -hubungan  antara  ketentuan undang-undang     yang     hendak     ditafsirkan     dengan ketentuan-ketentuan  lainnya  dari  undang-undang   tersebut maupun   undang-undang  lainnya  yang  sejenis,  yang  harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu  ayat  dengan  ayat  lainnya.  Hal  ini  untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa,  sistem  dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah  pentingnya.  Itulah unsur   sejarah  yang  melatarbelakangi  terbentuknya  suatu undang-undang, yang biasa dikenal "interpretasi historis."
                Dalam ilmu tafsir ada  yang  disebut  asbab  al-nuzul,  yang mempunyai  unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir  memberi  tempat   yang   cukup   tinggi   terhadap pengertian   ayat  al-Qur'an.  Dalam  konteks  sejarah  yang menyangkut interpretasi  itulah  kita  membicarakan  masalah nasikh-mansukh.  Dalam hal ini masalah yang terpenting untuk kita soroti  adalah   masalah   asas, pengertian/batasan, jenis-jenis, kedudukan, hirarki penggunaan, kawasan penggunaan dan hikmah kegunaannya.
                                                                             BAB II
PEMBAHASAN
A.    Asas
               Seandainya (Al-Qur’an ini) datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan di dalam(kandungan)-nyaikhtilaf(kontradiksi) yang banyak (QS. 4:82). Andaikan al-Qur'an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti saling  bertentangan. Ungkapan ini sangat penting dalam rangka   memahami   dan    menafsirkan    ayat-ayat    serta ketentuan ketentuan  yang  ada  dalam  al-Qur'an. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat  lebih  dan  terbagi  dalam  114 kelompok  surat,  mengandung  berbagai jenis pembicaraan dan persoalan.  Didalamnya  terkandung  antara   lain nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur,   perintah   dan   larangan. Masalah-masalah yang disebutkan   terakhir   ini,   tampak  jelas  dengan  adanya ciri-ciri hukum didalamnya. Semua jenis masalah ini  terkait satu dengan lainnya dan saling menjelaskan.
               Dalam  kaitan  itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas prinsip tersebut. Mereka mencatat  adanya  pendapat yang  memandang  adanya  tiap  ayat  atau kelompok ayat yang berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat   dengan   ayat   lainnya   dari  al-Qur'an  tidak  ada kontradiksi (ta'arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode penafsiran     untuk    meluruskan    pengertian    terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan. Adanya   gejala   pertentangan   (ta'arudl)   yang  demikian merupakan  asas  metode  penafsiran  dimana   Nasikh-Mansukh merupakan salah satu bagiannya.
 
B.     Pengertian
               Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata  ini  dipakai  untuk  beberapa  pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu  Hasyim, pengertian  majazinya  ialah pemindahan atau pengalihan. Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian  terminologis.  Perbedaan  terma  yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.
               Ulama  mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'I yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk  ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama  yang  dinyatakan berakhirnya  masa  pemberlakuannya,  sejauh  hukum  tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi  juga  mencakup pengertian  pembatasan  (qaid)  bagi  suatu pengertian bebas (muthlaq).  Juga  dapat  mencakup  pengertian   pengkhususan (makhasshish)  terhadap  suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga  pengertian  pengecualian  (istitsna).  Demikian   pula pengertian syarat dan sifatnya.
               Sebaliknya   ulama  mutaakhkhir  memperciut  batasan-batasan pengertian  tersebut  untuk  mempertajam  perbedaan   antara nasikh  dan  makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh  terbatas  hanya  untuk  ketentuan hukum  yang  datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya   masa   pemberlakuan   ketentuan   hukum   yang terdahulu,   sehingga   ketentuan  yang  diberlakukan  ialah ketentuan  yang   ditetapkan   terakhir   dan   menggantikan ketentuan  yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari  satu  pengertian,dan  di  lain  pihak  -dalam perkembangan selanjutnya- naskhmembatasinya hanya pada satu pengertian.
 
C.     Jenis-Jenis Naskh
               Masalah pertama yang ingin  kami  soroti  dalam  bagian  ini ialah  adanya  naskh  antara  satu  syari'at dengan syari'at lainnya. Ini terjadi sebagaimana  dapat  kita  amati  antara syari'at  Nabi  Isa  as.  dengan syari'at hukum agama Yahudi yang lebih  dahulu  ada.  Dalam  hubungan  ini,  dapat  kita katakan  bilamana  kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at, dengan  sendirinya  kita  mengaku   adanya   naskh,   karena syari'at-syari'at  sebelumnya  tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya pun tidak  akan  kita  berlakukan,  sepanjang
tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw.
               Jadi, adanya nasikh-mansukh  antar  syari'at  itu  merupakan salah  satu  jenis naskh. Hal semacam ini jika ditinjau dari segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya, misalnya pengertian  suatu  pemerintahan/negara  dengan pemerintahan/ negara  lainnya.   Contohnya,   adanya   pemerintahan/Negara kolonial Hindia Belanda dengan pemerintahan/negara  nasional Republik Indonesia. Dalam kaitan ini soal kedaulatan,  hukum dasar  dan  hukum-hukum  yang  langsung  berhubungan  dengan kedaulatan, serta hukum-hukum lainnya semuanya  dicabut  dan tidak   diberlakukan   lagi   sepanjang   tidak   dikukuhkanpemerintah/negara baru itu.
               Jika   kita   sudah   melihat  adanya  nasikh-mansukh  antar syari'at,  apakah  didalam  satu   syari'at   terjadi   juga nasikh-mansukh  antara  hukum  yang  satu  dengan hukum yang lainnya? Jika kita kembali pada syari'at Islam sendiri, kita akan  menemui  beberapa  kasus yang dapat memberikan jawaban atas masalah ini. 
1.      Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat ke arah Bait al-Haram. Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum kiblat. Kasus lain misalnya dalam hal shalat yang semula tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 raka'at. Ini juga berarti telah terjadi nasikh-mansukh dalam hukum shalat.
2.      Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut bidang ibadat. Sedangkan di bidang mu'amalat, dapat pula kita catat beberapa kasus, misalnya hukum keluarga. Sebagai contoh, semula ditetapkan masa tenggang ('iddah) bagi seorang janda, lamanya 1 (satu) tahun. Beberapa waktu kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masa tenggangnya 4 bulan 10 hari. Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hukum  pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.
               Dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik  kesimpulan, memang  terbukti  adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam syari'at Islam. Beberapa ketentuan  hukum  yang  sudah berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan hukum lain.  Hal  seperti  ini, jika  dilihat  dari  sudut  pendekatan ilmu hukum adalah hal yang lumrah dan banyak terjadi.  Bahwa  suatu  undang-undang atau  peraturan  hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak berlaku   lagi,   kemudian   diganti    dengan    menetapkan undang-undang atau peraturan lain.
               Persoalan  lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah soal nasikh-mansukh antara al-Qur'an dengan  Sunnah.  Adanya nasikh-mansukh  antara satu ayat yang memuat ketentuan hukum dalam al-Qur'an dengan lain ayat yang juga memuat  ketentuan hukum  dalam  soal  yang  sama,  adalah  satu hal yang tidak diperselisihkan lagi. Demikian  pula  adanya  nasikh-mansukh antara  satu  hadits  yang memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu  hal  yang  tidak  diperselisihkan lagi.  Juga,  adanya  nasikh-mansukh antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam Sunnah dengan lain hadits  yang juga  memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi. Masalah yang menimbulkan  perbedaan  pendapat  diantara  para ulama ialah adanya  nasikh-mansukh  silang   antara   al-Qur'an   dengan Hadits/Sunnah.  Jika  disimak  alasan  masing-masing  pihak, mungkin  dapat  ditarik  satu  garis  bahwa   faktor   utama terjadinya  perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing tentang  kedudukan  hirarki  al-Qur'an  dan   Sunnah   dalam syari'at itu sendiri. Dalam  kaitan  hirarki  al-Qur'an  dan  Sunnah,  ada semacam kesepakatan bahwa dalam nasikh-mansukh kedua unsurnya  harus sama tingkatnya dan sama nilai dan sifatnya. Lembaga tawatur dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan pikiran seperti ini terdapat juga di kalangan ahli hukum bahwa suatu peraturan hukum tidak dapat dicabut dengan  peraturan  hukum lainnya   yang  lebih  rendah  tingkatannya.  Demikian  pula lembaga yang mengeluarkan  peraturan  hukum  menjadi  factor pertimbangan.  Berdasarkan  pemikiran ini, ada satu hal yang perlu kita catat bahwa setelah  Rasulullah  saw  wafat  maka tidak  ada  lagi  nasikh-mansukh  yang  mungkin terjadi pada syari'at.
 Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut  segi formalnya.  Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada yang bersifat  eksklusif  (sharih)  dan  inklusif  (dlimni). Untuk  yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya hukum  kiblat.  Ketentuan  yang  nasikh (pengganti)  ditetapkan  secara  jelas. Ini contoh dari al-Qur'an. Sedangkan contoh lain dari Sunnah misalnya  hukum ziarah   kubur.   Didalam  hadits  disebutkan,  "Pernah  aku melarang   kalian   melakukan   ziarah    kubur.    Sekarang lakukanlah!".  Berbeda  dengan  hal  tersebut diatas, nasikh  yang  bersifat   dlimni   tidak   memuat   penegasan didalamnya  bahwa  ketentuan  yang  mendahuluinya  tercabut, tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang mendahuluinya.  Jenis  seperti  inilah yang banyak ditemukan dalam hukum syari'at.
 
D.    Kedudukan Naskh
               Masalah naskh bukanlah  sesuatu  yang  berdiri  sendiri.  Ia merupakan  bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu  Ushul  Fiqh.  Karena  itu  masalah   naskh   merupakan techniseterm  dengan  batasan  pengertian  yang  baku. Dalam kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan  pendapat tentang  kedudukan naskh: apakah ia berfungsi mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan). Ungkapan Imam Subki ini dapat dikaitkan  dengan  hal-hal yang menyangkut jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika ditinjau  dari  segi  formalnya maka  fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau dari  segi  materinya,  maka  fungsi   penjelasannya   lebih menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya suatu  fungsi  pokok  bahwa  naskh  merupakan   salah   satu interpretasi hukum.
 
E.     Kawasan Penggunaan Naskh
               Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti,  sejauh  mana jangkauan  naskh  itu?  Apakah semua ketentuan hukum didalam syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal  ini Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban  tugas  keagamaan)  sebagai  suatu  kebulatan   tidak mungkin  terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil  Allah  berdusta. Sejalan  dengan  ini  Imam Thabari  mempertegas,  nasikh-mansukh  yang  terjadi  antara ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram,  atau sebaliknya,   itu   semua   hanya  menyangkut  perintah  dan larangan,   sedangkan    dalam    berita    tidak    terjadi nasikh-mansukh.
               Ungkapan  ini  cukup penting diperhatikan, karena soal naskh adalah  semata-mata  soal  hukum,  yang   hanya   menyangkut perintah  dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum. Hal seperti yang diuraikan di atas,  di  bidang  ilmu  Hukum dapat  kita  lihat  gambarnya  pada  Hukum  Dasar,  misalnya Undang-undang  Dasar  Negara  yang  tidak   dapat   dijangkaupencabutan.  Adanya  pencabutan  terhadap  sesuatu peraturan hukum dan penetapan  peraturan  lain  untuk  menggantikannya hanya  berlaku  pada  undang-undang  organik atau peraturan, kedudukan dan kawasan naskh. Dengan demikian,  dengan  mudah kita dapat mengenal beberapa persyaratan, yaitu:
1.      Adanya ketentuan hukum yang dicabut (mansukh) dalam formulasinya tidak mengandung keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau selama-lamanya.
2.      Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai  kesepakatan universal tentang kebaikan atau keburukannya, seperti kejujuran dan keadilan untuk pihak yang baik serta kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.
3.      Ketentuan hukum yang mencabut (nasikh) ditetapkan kemudian, karena pada hakikatnya nasikh adalah untuk mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang sudah ada sebelumnya.
4.      Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.
 
F.      Hikmah Adanya Naskh
               Adanya nasikh-mansukh  tidak  dapat  dipisahkan  dari  sifat turunnya   al-Qur'an  itu  sendiri  dan  tujuan  yang  ingin dicapainya. Turunnya  Kitab  Suci  al-Qur'an  tidak  terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu,  lalu  Qur'an sendiri  menjawab,  pentahapan  itu  untuk  pemantapan, khususnya di bidang hukum. Dalam  hal  ini  Syekh  al-Qasimi berkata,  sesungguhnya  al-Khalik  Yang  Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama  23  tahun  dalam  proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu  mulanya bersifat  kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat  universal.  Demikianlah Sunnah   al-Khaliq   diberlakukan  terhadap  perorangan  dan bangsa-bangsa   dengan   sama.   Jika   engkau   melayangkan pandanganmu  ke  alam  yang  hidup  ini,  engkau  pasti akan mengetahui bahwa naskh  (penghapusan)  adalah  undang-undang alami   yang   lazim,  baik  dalam  bidang  material  maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari  unsur-unsur sperma  dan  telur  kemudian  menjadi  janin,  lalu  berubah menjadi  anak,  kemudian  tumbuh  menjadi  remaja,   dewasa, kemudian  orang  tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam  ini  selalu berjalan  proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari  terjadinya, mengapa  kita  mempersoalkan  adanya  penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke  yang  lebih tinggi?  Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung  membenahi  bangsa  Arab  yang masih  dalam  proses  permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah  mencapai  kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka  bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan  hukum,  memberikan  beban  kepada suatu  bangsa  yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan  melainkan  oleh  suatu bangsa  yang  telah  menaiki  jenjang  kedewasaannya?  Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita  yang  menurut sunnah  Allah  ditentukan  hukum-hukumnya  sendiri, kemudian di-nasakh-kan  karena  dipandang  perlu  atau  disempurnakan hal-hal  yang  dipandang  tidak  mampu  dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah  syari'at-syari'at  agama lain  yang  diubah  sendiri  oleh  para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali? 
               Syari'at Allah adalah perwujudan  dari  rahmat-Nya.  Dia-lah yang  Maha  Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup  tertib  dan adil  untuk  mencapai  kehidupan  yang  aman,  sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat  lebih  dan  terbagi  dalam  114 kelompok  surat,  mengandung  berbagai jenis pembicaraan dan persoalan.  Didalamnya  terkandung  antara   lain nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur,   perintah   dan   larangan. Adanya nasikh-mansukh  tidak  dapat  dipisahkan  dari  sifat turunnya   al-Qur'an  itu  sendiri  dan  tujuan  yang  ingin dicapainya.
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata  ini  dipakai  untuk beberapa  pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu  Hasyim, pengertian  majazinya  ialah pemindahan atau pengalihan. Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian  terminologis.  Perbedaan  terma  yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.
Pembagian Nasikh Mansukh
Pembagian Nasakh dapat diklarifikasikan kepada empat bagian :
1.      Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2.      Naskh Al-Qur’an dengan As-Sunnah.
3.      Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an.
4.      Naskh as-Sunnah dengan As-Sunnah.
Daftar Pustaka
1.    Ibn Katsir, Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim
2.    Imam Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh
3.    M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an
4.    DR. Yusuf Hardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur’an